Tuesday, December 3, 2024

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Laboratorium Moderasi Bermahasiswa

Secara metafor, Alwi Rachman—seorang ilmuwan dan budayawan Sul-Sel—dalam salahsatu esai pendeknya menggambarkan Indonesia sebagai bangsa yang diberikan dua takdir oleh Tuhan Yang Maha Esa, yakni takdir geografis dan takdir sosiologis. Takdir geografis menjadikan Indonesia sebagai negara dengan bentang wilayah yang sungguh luar biasa luas dan kayanya.

Sebagai negara kepulauan dengan luas lebih dari 7 juta kilometer persegi, yang 75% di antaranya adalah lautan, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, mencapai 95.181 km, dengan lebih dari 16.771 pulau yang dihuni berbagai macam flora, fauna, dan sumber daya alam (BPS, 2020). 

Tanah air yang subur dan nyaman ini, seperti yang diungkapkan secara metafor oleh Multatuli (1820-1887) menggambarkannya sebagai untaian “Zamrud di Khatulistiwa” (The Emerald of Equator), yang di dalamnya menurut Koes Plus “tongkat dan batu pun jadi tanaman”. Kedua metafora itu menceritrakan kepada generasi kita bahwa Indonesia adalah negeri yang indah, subur, dan makmur yang dalam ungkapan Jawa kuno disebut sebagai gemah ripah loh jinawi. Selain itu, Indonesia juga diberikan takdir sosiologis berupa keberagaman yang sangat kompleks.

Dengan populasi sebesar 275,36 juta jiwa pada 2022 (Kemendagri, 2022), Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Keistimewaan ini menjadi lebih besar karena jumlah penduduk usia produktif mencapai 69,3%, menciptakan bonus demografi yang luar biasa. Indonesia pula dianugerahi kekayaan budaya dan keragaman sosial. Lebih dari 1.300 suku bangsa, 668 bahasa daerah, enam agama resmi serta ratusan aliran kepercayaan, dan berbagai organisasi masyarakat yang tersebar di seluruh penjuru tanah air adalah bagian dari mozaik Indonesia yang unik.

Keberagaman ini dipersatukan dalam empat konsensus kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang berfungsi sebagai landasan persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dis-kohesi dan Dis-integrasi 
Namun, realitas keberagaman yang luar biasa tersebut tidak hanya membawa implikasi positif, sebab juga membawa tantangan yang tidak ringan. Sejarah mencatat berbagai konflik berbasis identitas, mulai dari konflik etnis, konflik agama, hingga konflik aliran kepercayaan, yang mengancam integrasi bangsa dan kerukunan sosial.

Peristiwa-peristiwa seperti konflik etnis pada 1998 antara pribumi dan Tionghoa, konflik agama di Ambon dan Poso pada 1999, serta konflik antar kelompok yaitu dalam Islam yaitu Syiah-Sunni pada 2012 di Sampang Madura adalah beberapa contoh betapa rentannya kohesi sosial di negeri ini (Fathurozi, 2017). Dalam kehidupan kampus, kekerasan juga banyak terjadi, diantaranya kekerasan antar mahasiswa, baik dalam setting perbedaan asal daerah, perbedaan fakultas, perbedaan angkatan, maupun kekerasan seksual dan kekerasan akademik.

Oleh karena itu, pembangunan karakter moderat menjadi sangat relevan dan urgen sebagai upaya preventif untuk mencegah konflik, menjaga kohesi sosial dan integrasi nasional. Moderasi bermahasiswa adalah salah satu cara untuk mewujudkan ini, di mana nilai-nilai toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, serta sikap inklusif dan terbuka terhadap berbagai pandangan ditanamkan pada setiap warga negara sejak mengenyam pendidikan, sehingga saat mengalaminya di kehidupan nyata, ia dapat berkontribusi dalam mengelola keragaman tersebut. 

Pancasila, sebagai ideologi moderat yang menjadi pijakan atau tumpuan kehidupan berbangsa, memainkan pada situasi ini tentu memiliki peran sentral dalam mewujudkan karakter moderat pada setiap orang. Dalam konteks ini, Pancasila mesti diposisikan bukan sekadar sebagai dasar negara, tetapi juga panduan hidup yang mendorong kita untuk saling menghormati dan menghargai keberagaman. Di posisi ini pancasila mesti diaktifkan, menjadi kompas etik bagi setiap orang. 

Pancasila yang merupakan fondasi moderasi di Indonesia, paling tidak dapat terlihat dalam sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," sila ini menjadi aras dalam mendorong penghormatan terhadap keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia, memberi jaminan kebebasan beragama, serta sekaligus mengajak setiap orang untuk menghayati agama atau kepercayaan yang dianutnya secara sungguh-sungguh. Kemudian sila kemanusiaan, yang berarti di atas keragaman identitas apapun, memperlakukan setiap orang secara manusiawi adalah hal utama. Tidak boleh atas dasar perbedaan lalu bertindak merendahkan kemanusiaan. 

Demikian juga sila ketiga, "Persatuan Indonesia," yang menekankan pentingnya persatuan dan kebersamaan meskipun dalam keragaman. Persatuan ini sangat relevan dalam mencegah konflik yang dapat terjadi akibat perbedaan keyakinan atau latar belakang. 

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Laboratorium Moderasi 
Untuk mencapai tujuan ini, salah satu ruang yang bisa dioptimalkan adalah melalui pendidikan kewarganegaraan (PKn), yang telah menjadi bagian wajib dari kurikulum di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan kewarganegaraan memiliki peran penting dalam membangun kesadaran warga negara yang moderat (suatu sikap yang komitemen atas nilai kebangsaan, toleran, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap nilai budaya lokal). 

Di dalam kelas PKn, para peserta didik dalam hal ini mahasiswa diajak untuk memahami pentingnya keberagaman, menghargai perbedaan, dan mengembangkan karakter yang moderat dalam kehidupan bermasyarakat. Moderat disini ialah sikap yang menghindari keekstreman, kekerasan, mendukung keragaman dan menghargai kearifan lokal. Karena itu melalui PKn, peserta didik tidak sekadar diajak untuk memahami tapi juga mengalami langsung bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan sebuah ancaman. 

Lebih jauh, dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi saat ini, penting bagi generasi muda untuk memiliki pemahaman yang baik tentang moderasi (baik moderasi beragama maupun moderasi dalam konteks identitas lainnya). Dunia maya yang tanpa batas ini memungkinkan akses informasi dari berbagai sumber dan ideologi, termasuk yang ekstrem. Oleh karena itu, penguatan pendidikan karakter dan moderasi beragama melalui mata pelajaran dan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan menjadi semakin relevan. 

Dengan penanaman nilai-nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan, para siswa/mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mengapresiasi keragaman secara lebih baik serta menghindari sikap fanatisme yang dapat mengarah pada kekerasan. Indonesia membutuhkan generasi yang memahami bahwa menjadi religius tidak harus ekstrem, dan menjadi nasionalis tidak harus menanggalkan identitas agama. Moderasi beragama menawarkan jalan tengah yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, di mana agama dan kebangsaan berjalan beriringan untuk memperkuat persatuan bangsa. 

Dengan pendidikan yang berlandaskan pada Pancasila, moderasi beragama dapat menjadi karakter fundamental yang tertanam dalam setiap warga negara, sehingga Indonesia dapat terus menjadi rumah yang aman dan damai bagi seluruh anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke. Di masa mendatang, tantangan keberagaman Indonesia mungkin akan semakin kompleks, seiring dengan pertumbuhan populasi dan perkembangan globalisasi yang cepat. 

Namun, dengan fondasi ideologi Pancasila sebagai panduan dan moderasi beragama sebagai karakter bangsa, Indonesia dapat menghadapi tantangan ini dengan kokoh. Keberagaman yang diwarnai oleh karakter moderat akan menjadi kekuatan yang memperkuat Indonesia sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. 

Oleh: M. Yunasri Ridhoh