Palestina pasti merdeka !

Menuslah, agar mengabadi

Pemuda bersatuilah

Thursday, December 5, 2024

Prinsip-Prinsip Al-Qur’an dalam Penerapan Moderasi Beragama





Oleh: Ismail Amin

 

Moderasi diadopsi dari bahasa Inggris moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Moderation sendiri berasal dari bahasa latin, moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Sepadan dengan kata moderasi adalah moderat. Dalam penjelasan KBBI moderat adalah selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.

Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah. Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah disebut wasith. Wasith ini diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata wasit, yaitu penengah dan pendamai yang berselisih.


Jika disandingkan dengan kata beragama, maka moderasi beragama bisa diartikan sebagai upaya dan sikap menjadikan agama sebagai prinsip untuk menghindarkan perilaku yang ekstrem dalam menjalankan praktik keagamaan dengan cara mencari jalan tengah yang dapat menjalin ikatan persaudaraan dan kebersamaan dengan kelompok-kelompok keyakinan yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang memiliki keragaman dan kemajemukan termasuk dalam keyakinan agama, menjalankan moderasi beragama menjadi sangat penting.

Mengapa Penting Moderasi Beragama di Indonesia? 

Berangkat dari kecanggihan tekhnologi informasi, masyarakat muslim Indonesia yang sebelumnya sampai 2-3 dekade lalu, hanya tahunya satu-dua paham keagamaan dengan masih terbatasnya akses informasi mengenai dunia luar diperhadapkan oleh fakta empiris bahwa umat Islam terpecah belah dalam banyak sekte, paham dan aliran yang tidak sedikit diantaranya saling menghantam satu sama lain.


Di antara paham itu ada yang memaksakan alirannya dengan mengobarkan bara permusuhan dan pertumpahan darah. Terlepas dari teori konspirasi, umat Islam Indonesia harus menyadari bahwa ketika suatu paham telah mengajarkan ekslusivisme, eksrimisme dan tindakan memusuhi dan memerangi kelompok keyakinan yang berbeda melalui tindak-tindak kekerasan maka itu adalah Islam yang terdistorsi sebab tidak sesuai dengan prinsip rahmat dalam Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw.


Baik terhadap kelompok Islam yang berbeda apalagi terhadap umat penganut agama lain, setiap muslim di Indonesia  harus mampu mengembangkan moderasi beragama. Setidaknya ada tiga landasan filosofis yang digali dari Al-Qur’an yang bisa dijelaskan.


Pertama, esensi Islam adalah memberi keselamatan pada semua manusia. Kehadiran Islam adalah untuk menjaga martabat manusia. Menurut teori maqashid al-syari’ah (maksud Allah menurunkan syariat) ada lima hak dasar manusia yang harus dilindungi dan diselamatkan. Yaitu, hifzh al-din (hak berkeyakinan/beragama), hifzh al-nafs (hak hidup), hifzh al-aql (hak berpikir), hifzh al-irdh wa al-nasl (hak atas kehormatan tubuh dan kesehatan reproduksi) dan hifzh al-mal (hak kepemilikan atas harta). Hak-hak ini bersifat universal sehingga disebut oleh ulama ushul dengan al-Kulliyat al-Khams (lima prinsip kemanusiaan universal).


Dalam hak berkeyakinan, Islam menerapkan prinsip “laa ikraha fiddin”, tidak ada paksaan dalam agama (Qs. Al-Baqarah: 256). Allah Swt dengan tegas menyatakan Dia bisa saja menghendaki semua manusia seragam dalam berkeyakinan secara ijbari, tetapi hal itu tidak dikehendaki-Nya. Sebab Allah menghendaki berislam karena kesadaran sendiri bukan melalui pemaksaan.


Allah Swt berfirman, “Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?” (Qs. Yunus: 99). Pertanyaan model ini dikenal dengan istilah lil-inkari, yaitu pertanyaan dalam bentuk pengingkaran. Memaksa manusia agar beriman adalah hal yang tak dikehendaki Allah Swt.


Dalam hak hidup, Islam membawa misi damai dan keselamatan sehingga menjaga nyawa manusia menjadi prioritas. Dalam Al-Maidah ayat 32 disebutkan, menghilangkan satu nyawa tanpa hak, sama dengan menghilangkan keseluruhan nyawa manusia. Kata nafs dalam ayat tersebut menunjukkan manusia dengan identitas apapun, termasuk orang kafir sekalipun, selama bukan karena membunuh orang lain atau membuat kerusakan maka dia tetap punya hak untuk hidup yang itu dijamin oleh Allah Swt.


Dari sini Islam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Karena itu yang memaksakan kehendaknya dengan menebar teror, kekerasan dan memudahkan menghabisi nyawa orang lain, tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dalam Islam.


Kedua, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan. Dalam Al-Hujurat ayat 13 Allah Swt menjelaskan penciptaan keragaman manusia supaya saling kenal-mengenal. Dalam Ar-Rum ayat 22, Allah Swt lebih detail menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan keragaman bahasa dan warna kulit.


Dari sini ketika umat Islam menyadari, bahwa pluralitas dan kemajemukan manusia bersumber dari kehendak Allah Swt sendiri, maka tidak alasan sedikitpun untuk membenci dan memusuhi keragaman dan perbedaan. Kesadaran dan pengetahuan atas keragaman memungkinkan untuk seseorang bersikap moderat.


Ketiga, umat Islam adalah umat yang moderat dan seimbang yang dengan itu menjadi umat pilihan. Allah Swt berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (ummatan wasatan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Qs. Al-Baqarah: 143).


Dalam sejarah Nabi Muhammad saw, konsep moderasi beragama pernah dipraktikkan dalam kehidupan umat Islam di Madinah (sebelumnya bernama Yastrib). Heterogenitas masyarakat Yastrib, tidak hanya pada aspek sosial ekonomi, melainkan juga kesukuan dan agama. Masyarakat saat itu setidaknya terbagi atas tiga kelompok: kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar), anggota suka Aus dan Hazraj yang masih menganut paganisme, dan kaum Yahudi dengan tiga suku utama, Banu Qainuqa, Banu Nadir dan Banu Quraizhah.


Untuk mengantisipasi munculnya perbedaan kepentingan yang dapat memicu konflik sosial, Nabi Muhammad saw meletakkan dasar-dasar peradaban (madaniyyah) dengan membuat sebuah konsensus bersama mengenai kehidupan beragama, ekonomi, sosial dan politik yang terangkum dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) atau juga disebut Konstitusi Madinah. Berlakunya konsensus tersebut menandai perubahan nama kota dari Yastrib menjadi Madinah. Yaitu keberadaan konstitusi tersebut membuat kota itu menjadi berperadaban.


Piagam yang dikeluarkan pada tahun 622 M tersebut sebagai undang-undang tertulis bertujuan mengikat tali perbedaan antar etnis, keyakinan maupun kesukuan di kalangan masyarakat Madinah yang didasarkan pada prinsip-prinsip universal kemanusiaan yaitu kesatuan umat tanpa diskriminasi dan egalitarianisme yang menjunjung tinggi hak dan kehormatan sesama manusia. Dari fakta historis ini, umat Islam memiliki tanggungjawab sejarah untuk menjadi orang-orang yang mampu meletakkan asas hidup harmoni dalam masyarakat dimanapun berada.


Dalam konteks Indonesia, kita memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila memiliki peran sentral yang sama dengan Piagam Madinah. Karenanya, alim ulama yang turut menyusun dasar negara tidak pernah mempersoalkan eksistensi Pancasila sebagai konsensus kebangsaan yang mengikat semua unsur masyarakat Indonesia, sebab sumber inspirasinya adalah dari Nabi Muhammad saw sendiri.


Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya telah mewariskan konsep moderasi beragama untuk umat manusia  selanjutnya agar bisa hidup lebih beradab dengan saling menghormati dan menghargai kebebasan masing-masing dalam beragama dan berkeyakinan.